Uji klinis diperlukan untuk mendukung klaim efektivitas dan keamanan suatu obat. Menjadi prasyarat persetujuan edar obat. Sebelum uji klinis dilakukan pada manusia, biasanya ada uji preklinis terlebih dahulu (studi hewan) untuk menunjukkan manfaat. Uji pada hewan ini umumnya menggunakan berbagai tingkatan dosis. Pada saat uji akan diekstrapolasikan ke manusia, dosis akan dikalkulasi oleh peneliti sedemikian rupa, sehingga dosis yang akan diberikan kepada manusia akan menjadi jauh lebih kecil. Mengenai hal ini akan dibahas lagi secara tersendiri.
Uji klinis terbagi atas beberapa fase: I, II, III, dan IV. Fase I-III adalah uji eksperimental, sedangkan fase IV adalah uji postmarket. Fase I adalah uji konfirmasi dosis efektif dan toksisitas. Subjek sedikit; puluhan orang saja baik sakit ataupun sehat.
Dalam uji klinis fase I, dipakai subjek sakit untuk mengamati dosis optimal, dan subjek sehat untuk mengamati toksisitas. Jumlah subjek yang dipakai masih sedikit, terbatas pada beberapa sampai belasan orang (maksimal rata-rata 20 orang).
Fase II adalah uji konfirmasi efektivitas dan keamanan. Subjek yg dipakai seluruhnya subjek sakit, berjumlah 100-300 orang. Fase II dibagi 2 macam: IIA untuk menilai efektivitas dosis obat, dan IIB untuk efek samping. Belum membandingkan dgn obat lain. Atau kalaupun dibandingkan, biasanya dengan plasebo (obat kosong).
Fase III, tahap terpenting uji eksperimental. Untuk dapat diapprove FDA, sebuah obat butuh minimal 2-3 uji fase IIIA yg berhasil positif. Fase III mengkonfirmasi efektivitas obat sambil memonitor efek samping. Semua dibandingkan dengan obat lain yg sudah ada. Fase III melibatkan subjek ribuan orang, multisenter, wajib menggunakan blinding dan randomisasi.
Dikenal pula fase IIIB yang bertujuan untuk perluasan indikasi suatu obat. Prosedur sama dgn fase III biasa. Setelah lolos fase III, biasanya obat akan direview oleh regulatori setempat. Kalau diterima, obat boleh dipasarkan.
Uji klinis tidak berhenti di sana. Masih ada uji fase IV, yang menilai risiko-manfaat-serta efek samping di masyarakat. Penambahan blackbox warning, revisi label, atau penarikan obat umumnya bersumber dari data uji klinis fase IV. Contoh obat yg ditarik setelah edar karena uji fase IV: sibutramine, troglitazone. Revisi label rosiglitazone juga demikian, terjadi setelah ada data uji klinis fase IV.